Saat Harga Gula Tak Semanis Rasanya
Gula adalah salah satu komoditas strategis dalam perekonomian Indonesia. Gula juga termasuk salah satu kebutuhan pokok masyarakat, khususnya sebagai sumber kalori. Peran penting gula juga dapat dilihat dari sisi ketahanan dan keamanan pangan, penyerapan investasi, serta luasnya keterkaitan dalam industri hilir, seperti industri makanan, minuman, gula rafinasi, farmasi, kertas, particle board, dan bio-energy.
Sayang beribu sayang, ternyata saat ini si manis mengalami kelangkaan. Gejolak harga mengiringi keberadaannya. Alih-alih berasa manis, menjadi ketir saat harus merogoh kocek lebih dari biasanya.
Mengutip CNN Indonesia, 19/4/2024, Kementerian Perdagangan (Kemendag) mengungkap biang kerok penyebab kelangkaan gula di ritel modern belakangan ini. Menurut Direktur Perdagangan Dalam Negeri Kemendag Isy Karim, kelangkaan terjadi karena pelaku usaha kesulitan mendapatkan stok gula dari impor dan harga yang tinggi.
Ternyata secara rata-rata bulanan, harga gula saat ini melampaui harga tertinggi pada 2023 yang tercatat mencapai Rp17.270 per kg pada Desember. Pada April 2024, harga rata-rata bulanan nasional tercatat di Rp17.950 per kg, naik dari harga Maret 2024, yakni Rp17.820 per kg. Lonjakan harga gula ini berlanjut sejak Agustus 2023 lalu, yang tercatat masih di Rp14.700 per kg. Artinya, harga rata-rata bulanan sudah mengalami kenaikan sekitar 22,10%.
Meski menurut data Bapanas (23/4/2024) terpantau sedikit turun (Rp18.070 per kg), tetapi dua pekan terakhir ini terpantau naik ugal-ugalan. Sebagai informasi, per Jumat (19/4/2024), harga gula rata-rata harian nasional di tingkat eceran naik Rp20 ke Rp18.090 per kg. Sepekan sebelumnya (12/4/2024), harga gula masih Rp17.950 per kg.
*Harga Galau Akibat Tata Niaga Kacau*
Pemerintah melalui Bapanas telah menetapkan harga acuan pembelian (HAP) gula di tingkat konsumen yang semula Rp16.000 per kg kini menjadi Rp 17.500 per kilogram. Sementara khusus untuk wilayah Maluku; Papua; dan wilayah Tertinggal, Terluar, dan Perbatasan, ditetapkan sebesar Rp18.500 per kg.(CNBC Indonesia, 18/4/2024).
Usut punya usut keputusan kenaikan harga ini ternyata disusul oleh adanya permintaan dari Asosiasi Peritel Indonesia (Aprindo) untuk merelaksasi harga gula karena pihaknya mengaku sulit menjual gula sesuai HAP yang ditentukan, sedangkan harga beli dari produsen gula sudah tinggi. Aprindo menilai jika relaksasi tidak diberikan kelangkaan gula akan terjadi di ritel. (CNN Indonesia, 20/4/2024).
Bila dicermati, galaunya harga gula ini menunjukkan fenomena permainan harga. Selain sebagai dampak dari ketiadaan cadangan gula nasional beserta kendali di pihak pemerintah, pedagang (besar) malah jadi begitu mudah menekan pemerintah untuk memainkan harga. Lagi-lagi para kapitalis unjuk kekuatan mengendalikan fluktuasi harga gula di pasaran. Sehingga bisa dikatakan persoalan gula ternyata bukan hanya sekadar stok dan mahalnya harga. Namun lebih dari itu, ada persoalan sistemis yang turut memengaruhi, yakni kacaunya tata niaga gula di pasaran yang ternyata tersebab intervensi pemodal di tingkat kebijakan politik gula. Wajarlah jika solusi yang diambil oleh pemerintah pada akhirnya memihak pengusaha, bukan pada rakyat biasa.
Saat ini tingkat efisiensi industri gula Indonesia menempati urutan ke-15 dari 60 negara produsen gula dunia. Potensi industri gula ini dalam kacamata bisnis sejatinya adalah industri yang efektif dalam meningkatkan pendapatan tenaga kerja dan rumah tangga di wilayah pedesaan karena industri gula ternyata sangat terkait dengan sumber daya lokal. Sebuah peluang yang dapat dikembangkan menjadi high value commodity bagi pemberdayaan ekonomi rakyat di Indonesia.
Fakta ini seharusnya menjadikan industri gula sebagai aset ekonomi dan sekaligus sebagai aset sosial yang penting. Dengan kondisi ini pun semestinya pemerintah mampu menjamin ketersediaan gula di pasar domestik dengan tingkat harga yang terjangkau masyarakat di kalangan apa pun.
Sebagai komoditas strategis, gula pun merupakan komoditas yang sarat politis. Hal ini tercermin dari adanya tingkat kepentingan terhadap peranan gula dalam upaya setiap negara di dunia untuk melindungi produksi gula domestiknya dari pengaruh internasional. Melihat hal ini seharusnya pemerintah berperan besar dalam sektor ketersediaan gula demi kemaslahatan umat bukan malah lebih berpihak pada para kapitalis.
*Islam Meniscayakan Manisnya Sistem Tata Niaga Gula*
Saat belenggu kapitalisme terus semakin kuat, seluruh sistem berjalan sesuai tabiatnya. Demikian pula dalam sistem perekonomian yang terkait komoditas gula. Sistem ekonomi kapitalis melanggengkan potensi keuntungan yang dapat dikeruk dari komoditas gula sangat tinggi. Ditambah lagi impor gula yang juga menjadi lahan subur bagi kalangan kapitalis lain yang berperan sebagai importir yang tentunya menjalankan rente impor ketika kebutuhan gula nasional begitu mengandalkan impor.
Tata niaga gula menjadi kacau balau. Gejolak harga bagai arung jeram yang tak mampu dikendalikan penumpang. Begitu ugal-ugalan. Tak terkendali untuk kemaslahatan rakyat, namun berselingkuh dengan kaum kapital yang memperkaya segelintir orang.
Berbeda dengan sistem Islam. Tata niaga gula berdasarkan ideologi Islam yang diterapkan oleh sistem Islam sangat memahami bahwa gula adalah salah satu bahan pangan pokok yang menjadikannya komoditas strategis. Dengan kondisi ini negara akan mengurus gula sebagai bagian dari urusan masyarakat secara keseluruhan.
Negara menjamin terpenuhinya kebutuhan gula rakyat, baik skala rumah tangga maupun industri, sekaligus menjamin ketersediaannya. Pemastian pelaksanaan aspek hulu hingga hilir industri gula, dari mulai pengelolaan pertanian tanaman tebu sampai jaminan peremajaan dan pembangunan pabrik gula diwujudkan oleh negara.
Seiring perkembangan teknologi, negara pun akan memfasilitasi riset teknik produksi gula. Jika ada tanaman selain tebu yang memiliki potensi untuk hasilkan gula, negara akan mendorong riset di sektor ini.
Terkait kesehatan, riset medis dan nutrisi terkait konsumsi gula per individu pun akan diperhatikan oleh negara agar tidak menjadi penyebab penyakit degeneratif. Komoditas gula akan diperankan sesuai kegunaannya di tengah masyarakat.
Dengan demikian negara akan terus berupaya memastikan kecukupan stok dalam negeri. Jika harga gula mahal, negara akan mengawasi rantai pasokan agar tidak ada pedagang-pedagang nakal yang memainkan harga, melakukan penimbunan, bahkan monopoli yang bisa menyebabkan mahalnya harga gula.
Jika terjadi sesuatu pada ketersediaan gula, negara pun memberi subsidi kepada industri maupun rumah tangga rakyat, agar mereka mampu menstok gula sesuai kebutuhan. Jika memang harus impor gula, negara akan memastikan sifatnya sementara saja, sehingga impor tidak menjadi pembiasaan dan pembiaran di saat kebutuhan gula di dalam negeri harus terpenuhi.
Sungguh tata niaga apa pun dalam sistem Islam akan menghadirkan kestabilan harga-harga tidak terkecuali harga gula. Tata niaga komoditas gula dalam Islam akan berjalan menyenangkan dan menenangkan semanis rasa alami yang dihadirkan. Dan tentunya ini hanya bisa dirasa dalam sistem paripurna dan sempurna, seniscaya saat Khilafah berjaya.
Wallaahu a'laam bisshawaab.