O l e h
Dr. Asep Ajidin, S.Pd.I., M.H.
Dosen STIH Putri Maharaja Payakumbuh dan Pengurus MUI Kabupaten Lima Puluh Kota

Suatu hari Nabi Musa a.s. menjadi khatib di hadapan bani Israil, lalu ia ditanya, “Siapakah orang yang paling alim?” Nabi Musa a.s. menjawab, “Saya.” Kemudian Allah mencela Nabi Musa a.s. karena dia belum memberikan ilmu kepadanya. Allah Swt. lalu mewahyukan kepada Nabi Musa a.s., “Aku memiliki seorang hamba yang tinggal di pertemuan dua laut. Dia lebih alim daripada kamu.”
Berangkatlah  Nabi Musa a.s. dengan saudaranya, Yusya’ bin Nûn. Ketika keduanya sampai di sebuah batu besar, mereka melihat seseorang yang sedang merapikan pakaiannya.  Nabi Musa a.s. mengucapkan salam kepadanya dengan ucapannya, “Aku datang kepada engkau, dengan harapan engkau sudi mengajariku apa-apa yang telah diajarkan kepada engkau berupa ilmu yang benar.”
Nabi  Khidir a.s.  menetapkan syarat kepada Nabi Musa a.s. agar tidak bertanya tentang apa pun hingga Nabi Khidir  a.s. sendiri yang akan menjelaskannya. Berlalu sebuah bahtera yang mengangkut mereka. Nabi Khidir a.s. mencopot sebuah papan kapal, namun Nabi Musa a.s.  tidak setuju. Nabi Khidir a.s. lalu mengingatkan Nabi Musa a.s. akan janjinya, Nabi Musa a.s. pun meminta maaf. Keduanya lalu keluar dari bahtera. Nabi  Khidir a.s. melihat seorang anak yang sedang bermain bersama anak-anak sebayanya yang lain, kemudian Nabi  Khidir a.s. membunuhnya. Nabi Musa a.s. menentang apa yang dilakukan Nabi Khidir a.s.  dengan lebih keras daripada penolakannya pada kejadian yang pertama, maka Nabi Khidir a.s. mengingatkan Nabi Musa a.s. akan janjinya. Nabi Musa a.s.  pun terdiam dengan menahan kesedihannya. Nabi Musa a.s. berjanji bahwa dirinya bersedia—jika bertanya yang ketiga kalinya— mengakhiri kebersama-annya dengan Nabi Khidir a.s..
Mereka masuk ke suatu kampung. Mereka meminta makanan kepada penduduk kampung itu, namun mereka menolak. Nabi Khidir a.s. melihat dinding yang miring, ia pun memperbaikinya. Nabi Musa a.s. berkata kepadanya, “Tidakkah engkau meminta upah perbaikan dinding?” Nabi Khidir a.s.  menjawab, “Habislah masa kebersamaan.”
Nabi Khidir  a.s. lalu menjelaskan semua kejadian yang mengundang keheranan Nabi Musa a.s. Ia mencopot papan sebuah kapal agar tidak dirampas oleh seorang raja yang zalim. Anak yang ia bunuh adalah seorang anak kafir, sedangkan kedua orang tuanya adalah orang mukmin. Nabi Khidir a.s. khawatir jika kecintaan keduanya kepada anaknya akan membawa keduanya kepada agama anaknya.

***
Kalau kita mengamati tentang perbuatan yang dilakukan Nabi Khidir a.s., melubangi perahu, membunuh seorang anak dan meluruskan dinding rumah yang mau roboh tanpa meminta upah, semuanya merupakan ‘ciri khas’ dari tindakan Allah Swt.  kepada manusia karena dilakukan tanpa bisa dilihat penyebabnya oleh kita. Kalaulah kita berimajinasi berada pada posisi Nabi Musa a.s. waktu itu, adalah hal yang wajar kalau kita juga akan mengajukan pertanyaan dan protes mengapa Nabi Khidir a.s. melakukan tindakan yang tidak berdasar tersebut. Apa reaksi kita ketika melihat teman kita dengan tanpa sebab membunuh seorang manusia yang kebetulan lewat di depan kita? Apa sikap kita ketika mendapati seorang teman yang dengan sengaja merusak sebuah alat pencari nafkah seperti perahu sehingga membahayakan penumpangnya, tanpa alasan yang jelas? 
Ketika Allah Swt. ‘memindahkan’ perbuatan-Nya kedalam perbuatan seorang manusia, maka seolah-olah Dia mau memberitahukan kita bagaimana nyatanya tindakan Allah Swt.  dalam kehidupan. Allah Swt. menggambarkan bahwa tindakan seorang manusia yang diberi ‘sedikit’ kemampuan ilmu Allah  untuk melihat hikmah dibalik suatu kejadian yang ditetapkan, akan ‘mengusik’ kesabaran kita sehingga membuat kita mengajukan pertanyaan yang bernada menggugat dan memprotes.
Apakah kita mengetahui kalau apa yang dilakukan Nabi Khidir a.s. di sepanjang perjalanan, sebenarnya suatu kejadian yang sangat akrab yang bisa kita temukan dalam kehidupan kita sehari-hari..?  Berapa kali kita pernah merasakan ketika Allah  Swt.  tiba-tiba ‘melubangi’ perahu kita, mengempiskan rezeki, membangkrutkan usaha, memunculkan kerugian, mendatangkan kesengsaraan, nestapa dan penyakit, menciptakan keresahan, kegundahan dan ketakutan. Apa reaksi kita ketika menghadapi semuanya..?  Kita pikir, apa yang dilakukan Nabi Musa a.s. sangatlah wajar dan manusiawi, dan kita beranggapan bahwa sangat wajar dan manusiawi juga kalau kita akan melontarkan pertanyaan yang sama: Mengapa? Lalu, apa reaksi kita kalau pada saat menetapkan ketetapan-Nya tersebut ternyata Allah Swt. memberitahukan apa alasannya? Apa yang akan dilakukan Nabi Musa a.s. kalau pada saat  Nabi  Khidir a.s. melubangi perahu, beliau memberitahukan apa alasannya? Kita pastikan bahwa kita akan melakukan sujud syukur dan berterima kasih dalam-dalam. Apa yang akan kita perbuat ketika Allah Swt. mendatangkan penyakit dan kesengsaraan sekaligus dengan menjelaskan bahwa Dia melakukan hal tersebut karena kasih-sayang-Nya kepada kita?  Bahwa Allah Swt.  bermaksud menyelamatkan kita dari keadaan yang lebih buruk yang bisa membuat kita semakin menjauh dan tersesat? Tentunya kita akan berterima kasih dan bersyukur kepada Allah Swt. Yang telah menimpakan berbagai peristiwa  kepada kita karena sejatinya pada setiap peristiwa yang menimpa kita selalu ada hikmah di baliknya.
Ketiga kejadian tersebut disimpulkan dengan satu kata, yaitu kesabaran, baik pada bagian adanya negosiasi antara Nabi Musa a.s. dan Nabi Khidir a.s., kejadian di sepanjang perjalanan dan pada saat Nabi Khidir a.s. memberikan penjelasan tentang perbuatan yang dia lakukan,  semua bicara soal kesabaran. Kalau kita amati dari  kisahnya  secara lengkap, ternyata kesabaran sama sekali tidak terkait dengan bentuk kejadian yang dialami, kita bisa saja mendapatkan musibah ataupun kebaikan, sengsara ataupun kenikmatan, kemelaratan maupun kesejahteraan, kesabaran dibutuhkan pada saat kita berusaha, bahwa apapun kejadian yang menimpa maka kita harus berusaha menanamkan keyakinan kalau semua itu merupakan kebaikan buat kita, bahwa itu artinya Allah Swt.  justru sedang menunjukkan kasih sayang-Nya kepada kita. Kesabaran kita diuji, apakah kita akan selalu bisa menem-patkan keyakinan tersebut dalam hati kita, lalu dimanifestasikan dengan tindakan yang mensyukuri, apapun kejadian yang menimpa kita. Mengerti atau tidak terhadap alasan dari kejadian yang menimpa, kita hanya tahu ada satu ucapan dalam hati sebagaimana Allah Swt. Berfirman dalam Al-Quran Surat Ali Imran ayat 191:“(Yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata), ‘Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka.’”
 
Top